Kasus Mega Korupsi Pt. Timah

Kasus Mega Korupsi Pt. Timah

Surya Darmadi Rp78 triliun

Kasus korupsi penyalahgunaan izin lokasi dan izin usaha perkebunan di Kawasan Indragiri Hulu di awal 2000-an merugikan negara sekitar Rp78 triliun.

Kasus ini menyeret pemilik PT Darmex Group/ PT Duta Palma Surya Darmadi. Surya diduga bersekongkol dengan Bupati Indragiri Hulu periode 1999-2008 Raja Thamsir Rachman menyerobot ribuan hektare lahan negara.

Surya sempat tinggal di Taiwan. Pada 14 Agustus 2022, ia kembali ke tanah air dan langsung dijemput petugas Kejaksaan Agung.

Pada 23 Februari 2023, ia divonis 15 tahun penjara. Surya Darmadi juga harus membayar denda Rp1 miliar, uang pengganti kerugian Rp2,2 triliun, dan harus membayar kerugian ekonomi Rp39,7 triliun subsider lima tahun penjara.

Meskipun begitu, hukuman untuk Surya Darmadi dipotong Mahkamah Agung. MA menyunat denda untuk Surya dari Rp40 triliun menjadi hanya Rp2 triliun.

Asabri Rp22,78 triliun

PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) (Persero) terseret salah satu mega korupsi. Total kerugian negara mencapai Rp22,78 triliun

Manajemen Asabri melakukan korupsi pengaturan transaksi berupa investasi saham dan reksa dana yang dilakukan jajaran manajemen PT Asabri dengan pihak swasta pada tahun 2012-2019.

Benny Tjokro yang didakwa melakukan pencucian uang dalam kasus Asabri sempat dituntut hukuman mati. Namun, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis nihil.

Vonis itu diberikan karena Benny Tjokro sudah divonis penjara seumur hidup dalam kasus Jiwasraya. Benny hanya diberu hukuman tambahan pembayaran uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 5,73 triliun.

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Asuransi Jiwasraya (Persero) baru saja mendapat sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menarik ke belakang, sengkarut keuangan di asuransi pelat merah ini sebenarnya telah dimulai sejak tahun 2004.

Lantas, bagaimana kronologi permasalahan Jiwasraya sejak 2024 hingga saat ini disanksi PKU? Berikut rangkumannya.

Awal Mula Masalah Keuangan

Pada tahun 2024, Jiwasraya mencatatkan insolvency mencapai Rp 2,769 triliun akibat cadangan yang lebih kecil dari seharusnya. Pada tahun 2006-2007, ekuitas Jiwasraya tercatat negatif sebesar Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan kewajiban.

Laporan keuangan perusahaan tersebut kemudian mendapatkan opini disclaimer dari BPK untuk tahun 2006 dan 2007 karena ketidakpastian informasi cadangan. Defisit semakin membengkak pada tahun 2008 hingga mencapai Rp 5,7 triliun dan Rp 6,3 triliun di 2009, yang memaksa perusahaan melakukan langkah penyelamatan melalui skema re-asuransi.

Pada tahun 2015, hasil audit BPK menunjukkan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang terkait pelaporan aset investasi keuangan. Singkat cerita karena tak kunjung membaik, pada 10 Oktober 2018, Jiwasraya secara resmi mengumumkan ketidakmampuannya membayar klaim polis JS Saving Plan yang jatuh tempo sebesar Rp 802 miliar.

Pada tahun 2019, Jiwasraya mengumumkan ekuitas negatif sebesar Rp 27,24 triliun. Kewajiban polis JS Saving Plan yang bermasalah tercatat mencapai Rp 15,75 triliun.

Usai pengusutan pihak berwajib, terungkap bahwa Jiwasraya terlilit kasus mega korupsi yang menyangkut Benny Tjokrosaputro (Bentjok). Pada 2021, Bentjok divonis penjara seumur hidup karena terbukti melakukan salah pengelolaan dana investasi dari produk JS Saving Plan dengn kerugian negara mencapai Rp16 triliun.

Secara sederhana, dalam kasus Jiwasraya, modus yang dilakukan Heru dan komplotannya adalah dengan manipulasi perdagangan saham supaya harganya naik sangat signifikan, tapi secara fundamental perusahaan tersebut tidak memiliki kinerja baik, merugi bahkan tidak layak investasi. Heru-Bentjok dkk pun melakukan aksi manipulasi saham tersebut menggunakan uang yang berasal dari Jiwasraya.

Restrukturisasi ke IFG

Seiring dengan pengusutan kasus Bentjok, pada tahun 2021 pula, Kementerian BUMN mulai melakukan restrukturisasi bagi pemegang polis ritel Jiwasraya ke perusahaan asuransi baru, yakni IFG Life. Sementara program restrukturisasi ini pun akhirnya berakhir pada 31 Desember 2023.

Per akhir tahun 2023 diketahui, program Restrukturisasi Jiwasraya telah diikuti oleh 99,7% pemegang polis dari seluruh pemegang polis Jiwasraya. Bila dirinci, 6.327 polis dari kategori korporasi, 291.071 polis dari kategori ritel, dan 17.339 polis dari kategori bancassurance.

Usai restrukturisasi rampung, pada Juni 2024, Otoritas OJK meminta Jiwasraya untuk menyampaikan rencana berikutnya untuk pemberesan Perseroan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Meski demikian, hingga saat ini belum ada pernyataan khusus terkait pembubaran atau likuidasi Jiwasraya.

Video: Efek Anjloknya Daya Beli, Penyaluran Kredit Multifinance Turun

Suara.com - Sosok Jenderal Purn Inisial B santer dikaitkan dalam kasus korupsi timah senilai Rp 271 Trilun yang kini digarap Kejaksaan Agung (Kejagung). Menebak nama Jenderal B di pusaran kasus korupsi timah, siapakah orangnya?

Sosok jenderal purnawirawan berinisial B tersebut pertama kali diungkap oleh Sekretaris Pendiri Indonesia Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus. Jenderal Purn B ini pun dikabarkan marah lantaran terbongkarnya kasus korupsi timah.

Keterlibatan Jenderal 'B' ini pun viral pasca dugaan penguntitan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah oleh 3 orang anggota Densus 88 ketika sedang makan malam di sebuah restoran di kawasan Jakarta Selatan.

Awalnya, terendus gerak-gerik mencurigakan dari tiga orang itu yang disebut menggunakan alat untuk merekam Febrie. Polisi Militer (PM) yang mengawal Febrie pun berhasil menangkap salah satu dari anggota Densus 88.

Sebagai informasi, sebanyak 21 tersangka telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung terkait dugaan mega korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp 271 triliun.

Eks Jenderal tersebut diklaim memiliki peran sebagai pelindung orang-orang yang terlibat kejahatan itu. Akan tetapi, sejauh ini nama sang jenderal yang menjadi bekingan dalam kasus mega korupsi timah masih jadi misteri.

Diketahui dalam institusi kemiliteran dan kepolisian, bintang 4 merujuk terhadap pangkat Jenderal. Apabila TNI, sosok itu biasanya menjabat sebagai mantan Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan. Sedangkan di lingkungan Polri, perwira yang pernah mempunyai empat bintang di pundak, hanyalah kapolri ataupun bekas kapolri.

Namun, selain itu, baik di TNI atau Polri, ada pula perwira yang bisa meraih bintang 4 tanpa harus menjabat Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan, ataupun Kapolri.

Iskandar Sitorus tidak menjelaskan secara detail sosok bintang 4 yang diduga beking praktik hitam tambang timah ini. Ia hanya menyebut, jenderal bintang 4 itu merupakan pensiunan aparat berseragam.

Lebih lanjut, pria kelahiran Pelembang ini menyebutkan terdapat oknum bintang 4, seorang oknum pensiunan dan berseragam yang membaking praktik hitam pertambangan timah tersebut.

Iskandar mengatakan, pensiunan bintang 4 itu berinisial B yang merupakan seorang laki-laki. Disebutkan, modus B yaitu mengakomodir praktik hitam tambang timah lewat mantan anak buahnya. Bahkan B juga mengorganisir hingga terjadinya pembelian smelter.

Seiring dengan proses penyelidikan yang tengah berlangsung, muncul beragam spekulasi. Termasuk purnawiran jenderal bintang 4 yang juga eks Kapolri itu, disebut masih memiliki akses ke anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri.

Bahkan disebut-sebut, Jenderal 'B' ini dekat dengan Robert Bonosusatyo alias RBT alias RBS, pemilik dari PT Refined Bangka Tin (RBT) yang masuk dalam daftar pusaran korupsi PT Timah (Persero) Tbk. Ia diduga diberi posisi penting di PT RBT. Dalam dugaan megakorupsi timah, penyidik Kejagung juga sempat memeriksa RBT alias RBS tetapi belum menetapkannya sebagai tersangka.

Update Kasus Korupsi Timah

Kejagung menggelar konferensi pers terkait perkembangan terbaru kasus dugaan korupsi timah, pada Rabu (29/5/2024). Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkap jumlah terbaru soal kerugian negara dalam kasus ini  bertambah hingga Rp 300 triliun.

Kemudian Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah, menegaskan jumlah tersebut masuk ke kategori kerugian negara bukan kerugian perekonomian negara.

Febrie mengungkap kasus ini akan dibawa ke persidangan. Lalu para terdakwa akan didakwa atas kerugian negara. Lebih lanjut Febrie mengatakan mega korupsi itu termasuk kerugian real loss.

Selain itu, Kejagung juga menetapkan mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM periode 2015-2022, Bambang Gatot Ariyono, sebagai tersangka baru dalam kasus korupsi timah. Penetapan tersangka dilakukan usai penyidik menemukan alat bukti yang cukup kuat. Sehingga kini jumlah tersangka korupsi timah bertambah menjadi 22 orang.

Kuntadi menjelaskan, alasan penetapan Bambang ini lantaran ia diduga terlibat dalam upaya mengubah Rencana Kerja Dan Anggaran Biaya (RKAB) pada tahun 2019. Dimana sebetulnya dalam RKAB itu sejumlah 30.217 metrik ton, lalu diubah menjadi 68.300 metrik ton.

Nah demikian tadi menebak nama Jenderal B di pusaran kasus korupsi timah. Semoga informasi ini bermanfaat!

Kontributor : Putri Ayu Nanda Sari

Kasus timah Rp300 triliun

Kejagung telah menetapkan 21 tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di IUP PT Timah tahun 2015-2020.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Deretan tersangka meliputi Direktur Utama PT Timah 2016-2021, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani hingga Harvey Moeis sebagai perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin.

Mereka dinilai telah merugikan negara hingga Rp300 triliun. Bahkan, kasus ini sudah menjadi yang terbesar saat taksiran kerugian negara baru dalam kajian IPB.

Beberapa pekan lalu, ahli lingkungan IPB Bambang Hero Saharjo menyebut kerugian ekologis akibat kasus timah mencapai Rp271 triliun.

Perhitungan itu merujuk Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2014 tentang kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Nilai kerusakan terdiri dari kerugian ekologis Rp183,7 triliun, ekonomi lingkungan Rp74,4 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan mencapai Rp12,1 triliun.

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sempat menjadi kasus korupsi terbesar di Indonesia. Kasus itu terjadi saat Indonesia mengalami krisis moneter pada 1997.

Puluhan bank tumbang akibat harga dollar Amerika Serikat yang meroket. Bank Indonesia (BI) memberikan bantuan dana Rp147,7 triliun untuk 48 bank agar tidak mengalami kolaps.

Dana itu justri diselewengkan oleh para penerima. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan negara rugi Rp138 triliun pada Agustus 2000.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan menangani kasus ini sejak 2008. Beberapa pelaku sudah diadili, termasuk Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Kejaksaan Agung beberapa hari silam menetapkan Helena Lin dan Harvey Moeis sebagai dua tersangka baru dari kasus korupsi di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk pada 2015–2022. Kasus korupsi PT Timah menunjukkan tata kelola yang buruk, perlu pengawalan terhadap perhitungan kerugian negara dari kerusakan lingkungan, dan pengembangan kasus untuk menjerat tersangka lain. Berikut adalah catatan ICW terhadap kasus tersebut.

Pertama, kasus korupsi PT Timah memperpanjang praktik buruk tata kelola sektor ekstraktif. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sepanjang 2004–2015 saja, negara sudah merugi sebanyak Rp 5,714 triliun hanya dari penyelundupan timah secara ilegal akibat tidak dibayarkannya royalti dan pajak PPh Badan. Apabila dirata-rata selama kurun waktu 12 tahun tersebut, negara kecolongan timah ilegal sebanyak 32,473 ton/tahun.

Kedua, perlu ada pengembangan kasus untuk menjerat aktor lain sebagai tersangka. Apabila kita melihat komposisi dari 16 tersangka yang telah ditetapkan oleh kejaksaan, mayoritasnya berlatar belakang direktur di perusahaan smelter. Padahal, kasus korupsi pertambangan kerap melibatkan aktor lain seperti pemerintah maupun aparat penegak hukum.

Dalam praktik pertambangan ilegal, aparat penegak hukum diduga acap kali menerima setoran dari aktivitas tambang untuk membiarkan operasi perusahaan tetap berjalan lancar. Modus tersebut antara lain pernah diungkap oleh mantan anggota Polres Samarinda, Ismail Bolong.

Bukan tidak mungkin modus serupa memperlancar praktik lancung dalam kasus PT Timah. Dalam praktiknya, perusahaan-perusahaan “boneka” mengambil bijih timah secara ilegal untuk kemudian dikirimkan ke perusahaan smelter yang sudah setuju bersekongkol. Praktik yang terjadi berulang kali tersebut nyaris mustahil luput dari pengawasan otoritas. Sehingga patut diduga bahwa operasi penambangan ilegal tersebut melibatkan aktor lain di luar aktor swasta.

Ketiga, pemerintah dalam kasus ini lalai memastikan tata kelola ekstraktif yang  baik. Setidaknya dua kementerian yaitu Kementerian BUMN dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) gagal menjalankan tugasnya.

Kementerian BUMN tidak memastikan PT Timah, entitas BUMN yang berada di bawah tanggung jawabnya, untuk mengambil langkah yang dapat mencegah terjadinya korupsi. PT Timah selaku BUMN diketahui menerbitkan Surat Perintah Kerja Borongan Pengangkutan Sisa Hasil Pengolahan mineral timah yang “memperlancar” praktik kotor perusahaan-perusahaan boneka yang menambang bijih timah secara ilegal.

Lebih jauh, Kementerian ESDM lalai melakukan peran pengawasan sebagaimana telah dimandatkan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Menteri ESDM dibekali kewenangan yang luas untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mulai dari teknis pertambangan, pemasaran, pengelolaan lingkungan hidup, hingga kesesuaian pelaksanaan kegiatan sesuai dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Keempat, ICW akan terus mendorong Kejaksaan Agung untuk memasukkan aspek kerusakan lingkungan dalam kalkulasi kerugian yang ditimbulkan dari kasus korupsi PT Timah. Kerugian yang ditimbulkan dari kasus korupsi tersebut mencapai angka Rp 271 triliun, terbesar sepanjang sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.

Aparat penegak hukum sejauh ini terlalu berfokus pada penghitungan kerugian negara semata ketika menangani kasus korupsi dengan dimensi sumber daya alam. Padahal korupsi sektor ekstraktif seperti pertambangan selalu membawa dimensi kerusakan ekologis maupun sosial yang masif. Perlu juga dicatat bahwa kasus korupsi yang mempertimbangkan aspek kerugian lingkungan beberapa kali dianulir oleh putusan hakim. Sehingga ‘terobosan’ Kejaksaan Agung perlu dikawal hingga proses persidangan.

Contoh kasus yang dianulir antara lain kasus korupsi usaha perkebunan kelapa sawit PT Duta Palma Group yang menjerat konglomerat Surya Darmadi. Jaksa awalnya menuntut Surya untuk membayar Rp 73,9 triliun akibat kerugian yang ditimbulkan, termasuk untuk memulihkan kawasan hutan yang telah dirusak kebun sawit miliknya.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta lalu menjatuhkan putusan yang mengakui penghitungan kerugian perekonomian negara yang di dalamnya terdapat pertimbangan kerusakan lingkungan. Namun, Mahkamah Agung menganulir pengakuan tersebut dan memotong sanksi Darmadi sehingga hanya harus membayar kerugian negara sebesar Rp2 triliun.

Kasus lainnya adalah kasus korupsi pemberian IUP yang melibatkan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam kasus tersebut tidak mempertimbangakan penghitungan kerugian lingkungan yang dipaparkan oleh ahli dalam persidangan.

ICW berharap ketika kasus korupsi PT Timah masuk ke proses persidangan, majelis hakim dapat memutus dengan progresivitas sehingga mengakomodir kalkulasi kerugian lingkungan yang telah dikonstruksikan oleh kejaksaan dengan bantuan ahli.

Indonesia Corruption Watch

Egi Primayogha - Seira Tamara - Yassar Aulia

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kasus korupsi Tata Niaga Komoditas Timah.

Tak tanggung-tanggung negara dirugikan hingga Rp 271 triliun.

Kasus korupsi ini melibatkan banyak kalangan dari penyelenggara negara, swasta, suami artis dan crazy rich PIK.

Total 16 orang jadi tersangka, termasuk suami artis Sandra Dewi Harvey Moeis.

Kasus ini pun tuai sorotan dari Uskup Keuskupan Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo

Pada konferensi pers Paskah 2024 di Gereja Katedral Jakarta, Minggu (31/3/2024), Kardinal Suharyo menyinggung soal keserakahan hingga kasus korupsi yang merugikan negara Rp 271 triliun.

Uskup Agung Jakarta Soroti Keserakahan di Indonesia hingga Kasus Korupsi Rp 270 Triliun

Uskup Keuskupan Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo menyoroti keserakahan yang ada di Indonesia saat ini.

Dikatakannya bahwa saat ini Indonesia masih ada dalam 'perbudakan' diperbudak dalam keserakahan.

"Hari ini kita lihat tindak pidana perdagangan orang (TPPO), bahkan bukan menyangkut saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Tetapi orang-orang yang mempunyai pendidikan tinggi, mengerikan," ujar Kardinal Suharyo pada konferensi pers Paskah 2024 di Gereja Katedral Jakarta, Minggu (31/3/2024).

Uskup Agung lalu menyinggung soal pencucian uang saat ini ramai di media, angka mencapai Rp 270 triliun.

"Kemudian korupsi yang saat ini tengah ditangani dan tindak pidana pencucian uang yang jumlahnya mencapai lebih dari Rp 270 triliun. Dan masih banyak yang lain," lanjutnya.

Akhirnya, kata Uskup Agung hulu dan hilir semua peristiwa ini adalah keserakahan. Dan Keserakahan itu bisa menyusup masuk di dalam sistem.

"Jadi bukan hanya keserakahan pribadi. Kalau keserakahan masuk ke dalam sistem ekonomi, politik budaya, sosial. Itu daya rusaknya sangat besar," sambungnya.

Itulah, kata Uskup Agung 'perbudakan' yang ia cermati di media massa saat ini.'

Floresa.co – Konten video penangkapan artis Raffi Ahmad dan istrinya Nagita Slavina oleh sekelompok pria yang diduga polisi tersebar luas di berbagai kanal media sosial beberapa hari belakangan.

@Opposite6892, salah satu akun X yang mengunggah dua video itu menulis narasi: “artis Raffi Ahmad diringkus polisi karena terlibat kasus pencucian uang 271 triliun, Nagita Slavina ngamuk” dan “Raffi Ahmad diringkus terkait pencucian uang, Mama Gigi sampai merengek nangis.”

Unggahan tersebut yang telah tayang 243 ribu kali menampilkan Raffi dan Nagita sedang berada di rumah, didatangi polisi berpakaian preman yang langsung memegang tangan mereka untuk dibawa ke kantor polisi.

Perdebatan lalu terjadi, di mana keduanya menolak, hingga seorang polisi memberikan sebuah surat penangkapan.

Raffi telah menanggapi video itu, mengatakan berita terkait penangkapan dia dan istrinya adalah hoaks.

“Hadeuhhh… ini tuh konten PRANK, jadi gue di-PRANK 5 tahun lalu di youtube channel @attahalilintar, jadi jangan percaya kalo ada pihak yang tidak bertanggung jawabdan mengedit video ini sehingga menjadi berita HOAX!!!,” tulisnya di akun Instagram @raffinagita1717 pada 2 April.

Floresa menelusuri video tersebut, menemukan bahwa konten aslinya diunggah empat tahun lalu di kanal Youtube milik Atta Halilintar.

Dalam video itu, Atta menulis judul “PRANK RAFFI AHMAD! Di TANGKAP POLISI!! NAGITA NANGIS”.

Video tersebut hingga kini telah ditonton lebih dari 26 juta kali.

Sementara itu, kasus dugaan korupsi timah ilegal dengan kerugian negara mencapai Rp271,06 triliun terjadi di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk di Kepulauan Bangka Belitung.  Hingga kini, Kejaksaan Agung telah menetapkan 16 orang tersangka kasus penambangan ilegal selama 2015-2022 itu, di mana salah satunya Harvey Moeis, suami artis Sandra Dewi.

Berdasarkan klarifikasi Raffi Ahmad dan penelusuran konten asli dari video penangkapan artis tersebut, dengan demikian video yang beredar luas di media sosial dengan narasi penangkapan Raffi atas keterlibatannya dalam kasus dugaan korupsi timah ilegal adalah hoaks.

Kejaksaan Agung (Kejagung) akan mendakwa para tersangka kasus korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah atas kerugian negara mencapai Rp300 triliun.

Jumlah itu membuat kasus korupsi timah menjadi kasus korupsi terbesar di Indonesia. Berikut daftar kasus korupsi di Indonesia dengan kerugian negara terbesar.

Kondensat ilegal Rp37,8 triliun

Kasus kondensat ilegal terjadi saat Dirut PT TPPI Honggo Wendratno mengajukan program PSO (public service obligation) melalui surat ke BP Migas.

Dia mengaku mampu menghasilkan produk aromatik. Selain itu, ia bisa memproduksi bahan bakar minyak (BBM), khususnya Mogas RON 88 (bensin premium).

Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono menunjuk PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara. Penunjukan dilakukan tanpa melibatkan Tim Penunjukan Penjual Minyak Mentah/Kondensat Bagian Negara.

Pada 22 Juni 2020, pengadilan memvonis Honggo 16 tahun penjara. Lalu denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Honggo dinilai terbukti merugikan keuangan negara senilai US$2.716.859.655 (sekitar Rp37,8 triliun) dalam penunjukan kondensat bagian negara. Namun, ia masih berstatus buron saat vonis dibacakan.